YADUPA.ORG – Jayapura, Petisi online adalah salah satu cara untuk mendorong perubahan. Siapa pun bisa bisa membuat petisi dan menggalang dukungan banyak orang.
Karenanya change.org menggelar pelatihan petisi online di Kota Jayapura, 11-12 Februari 2019, yang diikuti berbagai organisasi dan pergerakan.
Dian Paramita pelatih dari change.org mengatakan melalui kegiatan ini, para peserta dilatih membuat petisi yang efektif dan merumuskan strategi kampanye. Peserta juga diajak untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan di Papua yang bisa didorong perubahannya melalui petisi online.
Tujuan yang spesisfik, terukur, bisa dicapai dan berdampak; target petisi yang jelas; foto atau video yang menarik dan menggugah emosi, serta narasi yang jelas adalah cara membuat petisi efektif.
Petisi online change.org belum banyak dimanfaatkan di Papua. Melalui pelatihan yang baru pertama diselenggarakan ini, diharapkan akan lebih banyak pihak yang memanfaatannya. Selain di Jayapura, pelatihan ini juga akan dilaksanakan di Manokwari.
“Menurut saya bagusnya di tempat-tempat yang banyak aktivisnya. Jadi, sudah ada penggeraknya. Kalau ke kampung takutnya belum punya niat dan juga masalah internet,” ujar Dian.
Isu yang dominan diangkat selama pelatihan dua hari ini adalah pelanggaran HAM dan lingkungan. Namun ada juga isu-isu lain seperti pendidikan dan kesehatan dengan target pengambil kebijakan di tingkal lokal.
“Kalau mau yang strategis jangan langsung yang besar-besar. Tadi ada yang bagus. Kemungkinan menang dan viralnya tinggi,” ujarnya.
Menurut Dian, satu petisi akan disebut menang jika tuntutannya terwujud. Namun demikian, ada juga petisi yang belum menang, tapi berhasil membuat perubahan-perubahan positif.
Dari Papua, ada beberapa petisi yang berhasil dan menang, misalnya, “Hentikan penggunaan cenderawasih sebagai aksesoris. Tegakkan hukum!”. Sebagai respons atas petisi ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan edaran larangan penggunaan cenderawasih sebagai aksesoris.
Beberapa petisi lainnya, antara lain, “Segera Gelar Referendum Bagi Rakyat Papua!!”, “Turunkan harga tiket ke Papua”, “Beri kejelasan status hukum pasar mama-mama. Dan buka lantai 4!”, “Keluarkan inpres untuk lanjutkan program kirim buku gratis”, “Tolak Kebun yang Hancurkan Tanah Adat Kami di Kebar, Tambrauw, Papua Barat!, “bentuk KPP HAM Paniai Berdarah 8 Desember 2014”, “Papua adalah Indoensia”, “Biarkan 102 calon dokter Papua Barat mendapat hak belajarnya kembali”.
Ronald Manufandu dari Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua mengaku sering berpartisipasi dalam petisi online. Namun, dirinya baru kali ini belajar langsung tentang strategi pembuatan petisi tersebut. Baginya, ini menjadi penting untuk kerja-kerja JERAT ke depan, terutama dalam mengkampanyekan masalah perampasan lahan di Papua.
“Jerat fokus ke isu perampasan tanah. Saya kira salah satu media yang bagus ya melalui petisi online. Ini bisa mendorong semua orang untuk tahu dan sadar bahwa tanah di Papua ini sedang dirampas,” kata Manufandu.
Sementara itu, Ruth Ohoiwutun dari Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa) mengatakan petisi online ini sangat membantu mengangkat persoalan yang belum diselesaikan. Petisi online tidak hanya mendorong perubahan pada isu-isu besar, tapi juga isu-isu sederhana.
“Kalau saya lihat, petisi di change.org cukup efektif. Mungkin di Papua baru beberapa kasus dan lebih banyak kasus lingkungan. Tetapi tidak menutup kemungkinan hal-hal yang selama ini kita keluhkan, utarakan dan tidak pernah digubris, melalui petisi ini mungkin bisa mendapatkan perhatian,” kata Ohoiwutun.
Isu Lingkungan Hidup
Isu lingkungan hidup paling mendapat perhatian di platform petisi online change.org tahun 2018. Dari tujuh petisi, yang disebut sebagai kemenangan besar, adalah petisi lingkungan.
Petisi-petisi itu antara lain, “Tolak Gugatan Terhadap Basuki Wasis (Pejuang Lingkungan)”, “Selamatkan Prof Bambang Hero Saharjo”, “Tolak Pengiriman Hiu Paus Berau ke Ancol”, “Hentikan pemakaian Cenderawasih sebagai aksesoris. Tegakkan hukum!”, dan “Desak Mahkamah Agung Perintahkan PN Meulaboh untuk Eksekusi Perusahaan Pembakar Lahan”.
Isu-isu lain yang menarik adalah perlindungan hewan, antikorupsi, kekerasan terhadap perempuan, demokrasi, dan toleransi.
Sementara pihak yang paling banyak menjadi target petisi adalah Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DPR RI, Mahkama Agung, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Tahun 2018 juga menjadi tahun yang penting bagi pergerakan netizen untuk perubahan. Jumlah suara meningkat signifikan, dari 4 juta pengguna pada 2017 menjadi 6,5 juta pada 2018. Selain itu berbagai berbagai dampak positif juga terjadi.
Change.org didirikan tahun 2006 di Amerika Serikat. Di Indoensia laman ini mulai bergerak tahun 2012. Terhitung sejak 2 Juni 2012, jumlah penggunanya di Indonesia mencapai 8 ribu. Pada 2018, jumlah ini meningkat menjadi 6,5 juta.
Meski belum ada aturan khusus untuk menampung petisi online ini, petisi-petisi ini terbukti berhasil mempengaruhi opini publik dan mendorong perubahan kebijakan. (*)
Sumber berita : TABLOID JUBI