Waropen, Program pemetaan wilayah adat yang di dorong Yayasan Anak Dusun Papua (YADUPA) pada wilayah kerjanya. Dimana telah melaksanakan tahapan pemetaan wilayah adat (Pra-Lokakarya), Inggerus 25-26 Agustus 2023. Dengan Tema “Membangun Pemahaman Bersama Dalam Peleksanaan Penataan Wilayah Adat di Kabupaten Waropen”. Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari ini dihadiri oleh perwakilan pemerintah, Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL), Badan Perencanaan dan Aset Daerah (BAPEDA) Kabupaten Waropen, Kepala Pemerintahan Kampung di lingkungan wilayah suku, tokoh adat dan juga masyarakat.
Kegiatan dibuka oleh Dewan Adat Daerah Kabupaten Waropen, sekaligus dalam sambutannya menyampaikan peran dan fungsi YADUPA hadir sebagai representasi Dewan Adat Papua dalam hal ini membantu masyarakat adat suku Awera/Taru dan Demisa memetakan wilayah adatnya. Dikesempatan ini juga perwakilan pemerintah daerah melalui BAPEDA, menyampaikan materinya tentang perencanaan daerahnya yang termuat dalam Rencata Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Waropen 2010-2030.
Materi yang disampaikan penanggungjawab YADUPA Cabang Waropen berkaitan dengan pentingnya melakukan pemetaan wilayah adat. Disamping identitas budaya, keberadaan wilayah adat merupakan prasyarat bagi keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia, secara umum di Tanah Papua dan khususnya Kabupaten Waropen. Wilayah Adat ini dipahami sebagai suatu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun temurun ditempati, dikuasai dan dikelola oleh Masyarakat Adat, sebagai sumber-sumber penghidupan maupun sebagai penanda atas identitas sosial yang diwarisi dari leluhur atau yang diperoleh melalui kesepakatan dengan Masyarakat Adat lainnya. ldentitas budaya dan wilayah adat inilah yang menjadi sumber hak kolektif bagi masyarakat adat dan hak ini merupakan konstitusional yang dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan amandemennya.
Pemetaan partisipatif wilayah adat dilakukan untuk menata ulang hubungan masyarakat adat dengan negara dalam hal ini pemerintah pusat/daerah untuk penyelesaian atas konflik tataruang, khusus terkait kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam di wilayah-wilayah adat seperti wilayah, berkebun, berburu, nelayan dan tempat sakral.
Selama ini, peta menjadi acuan dalam tata ruang wilayah sebagai dasar pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah. Dalam perencanaan tata ruang seringkali tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, dan sudah banyak contoh kasus yang terjadi diwilayah Tanah Papua yang dapat kita jadikan contoh, seperti pembangunan aset pemerintahan diwilayah adat, pengelolaan SDA di wilayah adat tanpa ijin dari masyarakat pemilik, dan juga konflik antara masyarakat adat sendiri. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat adat dalam penataan ruang, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kawasan serta ketidakjelasan tata batas ditingkat wilayah adat sehingga menimbulkan berbagai konflik tataruang antara masyarakat adat, pemerintah dan investor.
Harapan dilaksanakan pra-lokakarya pemetaan wilayah adat, masyarakat adat Suku Awera/Taru dan Demisa dapat memahami pentinggnya pemetaan wilayah adat secara geografis dan sosial, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi langsung dalam proses pemetaan yang di lakukan YADUPA, selain itu juga pemerintah daerah dapat bekerjasama mendukung proses pemetaan ini dengan menindaklanjuti hasil pemetaan yang dilakukan bersama dengan masyarakat adat suku hingga pada tahap pengakuan atau legelitas wilayah adat suku.
Hasil dan manfaat dari kegiatan pemetaan wilayah adat, masyarakat adat Suku Awera/Taru dan Demisa tidak lagi menjadi objek pembangunan, tetapi masyarakat adat menjadi penentu dan pelaksana pembangunan di daerah.